Senin, 01 Agustus 2016

Pengalaman siswa menjadi pendamping delegasi UN Habitat 2016

Hello Historian......

Menjadi seorang Liaison Officer di Preparatory Committee 3 - United Nations Habitat III
Oleh : Aisyah Amalia R. Kelas : XII IIS 1
Sebenarnya, hari Rabu itu adalah hari dimana semuanya berawal. Berawal dari Audisi mengenai seberapa pengetahuan tentang Surabaya menggunakan Bahasa Inggris, ada sekitar 10 anak dari sekolah yang mengikuti Audisi tersebut. Aku, adalah salah satunya. Saat di tes pertama kali, jujur aku agak nerveous karena baru pertama kali ini berbicara tentang Surabaya di depan sekian banyak anak yang juga mengikuti audisi dari berbagai sekolah. Audisi itu tidak berjalan lancar, menurutku. Aku gugup dan aku hanya menceritakan apa yang aku ketahui tentang Surabaya. Tempat-tempat wisata yang paling terkenal, adalah yang aku ceritakan ketika Audisi.



Beberapa minggu kemudian, surat pemberitahuan dari Dinas Pendidikan sampai di tanganku ; sebuah Audisi lanjutan mengenai seberapa pengetahuanku tentang Surabaya. Tetapi, dari 10 anak yang sudah mengikuti Audisi, hanya 4 anak yang Lolos. Saat Audisi lanjutan kedua, aku bertekad bahwa aku tidak akan gagal lagi. Saat namaku dipanggil ke depan, setelah memperkenalkan nama dan sekolahku, aku menceritakan tentang macam-macam ras penduduk di Surabaya ; seperti China, Arab, Atau Jawa, dan mereka semua bisa tetap hidup dengan rukun dan damai di kota ini. Aku juga menceritakan tentang banyaknya Mall di Surabaya -- salah satu destinasi wisata favorit oleh masyarakat. Audisi itu berjalan lancar, aku mendapat tepuk tangan dari beberapa anak di ruangan. Juri mengatakan, Audisi ini adalah untuk menjadi Liaison Officer atau LO, sebutan 'Penghubung' antara tamu Negara dengan Pemerintah Kota Surabaya, untuk acara Prepcom 3 United Nations Habitat III, yang diadakan 20 tahun sekali di dunia, membahas masalah perumahan dan tata kota yang baik.
Selang berjalannya waktu, tidak ada kabar apapun mengenai Audisi tersebut. Terkadang, aku berpikir apakah aku lolos akau tidak, tetapi, jika nanti aku lolos atau tidak pun, aku tetap akan memberikan yang terbaik. Aku juga mendapat kabar angin, bahwa yang lolos Audisi di SMAN 22 Surabaya hanyalah anak-anak IPA, dan tidak ada anak IPS. Aku sempat kecewa, tetapi aku yakin Allah mungkin tidak mengizinkanku lolos karena bukan jalan yang terbaik untukku. Atau, aku yang belum pantas menjadi seorang Liaison officer, mungkin perlu belajar lebih keras lagi.
Dan, hari itu adalah hari Kamis yang biasa saja awalnya di bulan Puasa, jika saja Surat pemberitahuan dari Pemerintahan Kota Surabaya tidak memanggilku dan Rani, menuju pengarahan menjadi seorang Liaison Officer di Bappeko, Surabaya.
Aku dan Rani lolos Audisi tersebut. Rizal dan Ita juga lolos, tetapi mereka lebih memilih menjadi Volunteer. Dan saat kami bertemu dengan anak-anak dari bermacam-macam sekolah di Surabaya, aku gugup karena takut tidak bisa menyaingi mereka. Tapi, aku ingat aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku mendapat negara Pakistan ; sedangkan Rani mendapat negara Liberia. Sejak saat itu pula, kami mendapat berbagai pengarahan dari pemerintah kota Surabaya, juga dari Dinas pendidikan, Pariwisata, dan banyak lagi.
Kami mengikuti pengarahan dengan baik, kami mencatat apa yang harus diingat, aku berkenalan dengan anak-anak dari berbeda sekolah, belajar tentang Surabaya bersama mereka, mengenal berbagai macam pariwisata di Surabaya, tata cara bersikap di depan tamu Negara, mengasah kemampuan bahasa Inggris, dan banyak lagi.
Ketika hari itu tiba, Jumat 22 Juli 2016, aku mendapat pemberitahuan dari Koordinatorku bahwa akan ada 24 Delegasi dan 1 Menteri dari Pakistan yang akan datang. Menteri akan datang esok hari, sementara 24 delegasi lainnya akan menyusul tanggal 25 Juli 2016. Aku juga mendapatkan teman untuk membantuku melayani delegasi Pakistan ; yaitu Devina, dari SMAN 5 dan Dita, dari SMAN 1 yang sudah masuk Unair tahun ini.
Pada hari Jumat, ketika aku sendirian sampai di VIP Room T1 Bandara, aku bertemu dengan Mr. Ali Mohammed, duta besar Pakistan untuk Indonesia. Dan kami berkenalan di VIP Room, dan ketika dia berbicara bahasa Indonesia, logatnya agak aneh jadi kami berbicara menggunakan bahasa inggris. Dia bertanya tentang Surabaya, apa saja tempat-tempat wisata paling menarik, dan hal-hal apa saja yang akan dilakukan Ibu Menteri di Surabaya. Dia berharap aku bisa menjadi LO yang baik, mengatur jadwal-jadwal Menteri, karena Menteri bakal bener-bener sendirian di Surabaya, dia nggak bawa staff atau ajudannya sama sekali. Dann akhirnya Menteri pun datang. Dia cantik. Cantik banget, malah.
Mr. Ali memperkenalkanku dengan Ibu Menteri Pakistan, yaitu Mrs. Marvi Memon.
“And this is Aisyah, she will be your Liaison Officer” kata Mr. Ali
“Hello, Aisyah. Its nice to meet you”
“Hello, madam. Its nice to meet you too”
Perkenalan singkat kami berlanjut di Ruang Tunggu VIP Room, yang menurutku eksklusif banget karena kursinya besar dan empuk pol #eh. Ms. Marvi Memon mencicipi apem, dan katanya itu enakk banget. Setelah itu, aku, Mr. Ali, serta Ms. Marvi langsung berangkat menuju hotel. Aku tidak banyak mengobrol ketika di jalan, dan Mr. Ali juga melarangku banyak bicara ketika di mobil. Sesampainya di Hotel, Mr. Ali menyampaikan bahwa Ms. Marvi akan berangkat ke Rumah Sakit Unair, untuk menjenguk orang Pakistan yang sakit disana. Setelah menunggu, Ms. Marvi pun turun dari kamar hotel dan kami langsung menuju Rumah Sakit Unair. Sesampainya disana, sudah ada beberapa orang Pakistan yang menyambut Ms. Marvi. Mereka mengucapkan salam kepadaku, dan aku membalas salam mereka. Agak aneh, rasanya. Tapi, itulah budaya Pakistan.
Sebuah budaya yang jarang sekali kutemui di Indonesia—mengucapkan salam ketika bertemu sesama umat Islam. Aku terbiasa menyapa teman-temanku dengan nama mereka, atau tersenyum ketika bertemu orang-orang—tapi aku tidak terbiasa mengucapkan salam kepada sesama umat Islam yang aku temui. Ms. Marvi menjenguk seorang warga Negara Pakistan yang sedang sakit parah ( aku pun tidak boleh masuk ruangan—selain ribet, juga karena harus mengenakan Masker dan Sarung Tangan—sedangkan aku harus siap diluar. Bener-bener Steril )
Kami pun kembali ke hotel setelah itu, dan saat masih di jalan, Ms. Marvi bercerita kalau ia bisa membuat sebuah minuman dari bunga melati yang enak banget. Ia mengajariku bagaimana membuatnya, dan ia juga menyampaikan kalau resep tradisional itu berasal dari neneknya yang tinggal di Karachi, Pakistan. Ms. Marvi juga memberikanku kalung melati yang ia pakai sejak daritadi di Bandara, dan memintaku untuk mencoba resepnya di rumah. Ms. Marvi juga menyampaikan salamnya untuk keluargaku di rumah. Dia baik sekali.  Ms. Marvi mengatakan padaku kalau dia butuh beberapa makanan dan minuman karena dia kelaparan setelah berada 8 Jam penerbangan dari Islamabad menuju Surabaya. Ms. Marvi, menurutku, adalah seorang menteri yang lebih suka JALAN KAKI padahal dia udah di fasilitasi mobil BMW dan Polisi yang siap menemani. Berhubung tempatnya dekat dengan Delta Plaza, kami pun berjalan ditemani Pak Didik, Security Officer alias semacam bodyguard dari Kepolisian. Setelah memberi beberapa makanan, Ms. Marvi pun mencari Korek Api ( tapi aku nggak tau buat apa, karena dia bilang dia nggak ngerokok ) tapi Superindo lagi kehabisan Stok. Akhirnya, Pak Didik yang rela ke Alfamart dan membeli  korek api untuk Minister Marvi. Kemudian, Ms. Marvi ingin makan masakan Indonesia tapi yang cepet dan nggak ribet. Akhirnya, kami makan nasi goring di foodcourt bertiga, hahaha. Ms. Marvi terlihat kelaparan banget—dia menghabiskan nasi gorengnya dengan cepat. Kami pun kembali ke hotel setelah itu, dan Ms. Marvi menyampaikan padaku jadwal-jadwalnya untuk 4 hari kedepan. Aku pun mencatat jadwalnya, dan saat aku akan pulang, Ms. Marvi memberiku coklat ( Katanya, dia lagi diet ) dan anjir—coklatnya enak banget. Aku pun mengucapkan terima kasih kepadanya, kemudian Ms. Marvi tersenyum dan aku pun pulang ke rumah.
Hari selanjutnya, aku pun mengecek jadwal dan Mrs. Marvi menyampaikan kalau dia bakal seharian ada Meeting dengan National Democratic Institute, sebuah organisasi internasional yang membantu kaum perempuan untuk memasuki dunia Politik di Dunia. Setelah berkenalan dengan teman-teman Mrs. Marvi dari National Democratic Institute, ada pemberitahuan bahwa semua LO harus berkumpul di Grand City untuk acara Gladi Bersih. Aku pun izin ke Mrs. Marvi dan berangkat ke Grand City dengan jalan kaki. Saat masih di tengah-tengah pengarahan, aku ditelpon Mr. Ali Karena Mr. Ali ada perlu dengan Mrs. Marvi. Aku pun mengiyakan dan bakal balik kira-kira 15 menit lagi. Nggak seberapa lama, Mr. Ali pun marah-marah di telpon dan bilang aku harus balik hotel SECEPATNYA karena dia mau ada perlu sama Mrs. Marvi. Aku dan Devina pun langsung masuk taksi dan langsung berangkat ke Hotel, dengan sedikit menggupuhi supir taksinya karena Mr. Ali daritadi menelpon terus-terusan. Saat sudah sampai di Hotel, Mrs. Marvi langsung menelpon Mr. Ali dan dia marah-marah. Aku nggak tau mereka ngomongin apa—campuran bahasa Pakistan sama bahasa inggris, tapi Minister Marvi keliatan marah banget. Aku pun meminta maaf karena rada telat, tapi Minister Marvi baik-baik saja dengan itu. Setelah itu, kami menuju Grand City ( Jalan Kaki lagi ) bersama Chaca, Dhita dan Devina, lalu Mrs. Marvi ingin makan di suatu restoran Indonesia. Chaca menyarankan untuk ke Hotel Bumi, dan aku agak kurang percaya diri karena mereka bertiga bahasa inggrisnya udah keren banget sedangkan aku… yah.
Tapi, aku nggak menyerah. Meskipun bahasa inggrisku kurang bagus dibandingkan dengan mereka bertiga, tetapi aku tetap memberikan pelayanan yang terbaik. Hari-hari selanjutnya, aku dibantu Devina, Yuriko, Medy, dan Dita, ikut melayani Minister Marvi dan teman-temannya. Mulai dari Menyiapkan patwal, mobil BMW, belum lagi kalau Minister Marvi sukaa banget gonta ganti jadwal seenaknya dia ( Namanya juga Menteri ) atau meminta untuk mengajukan statement di ruang sidang, padahal Pakistan belum daftar untuk menyampaikan statement-nya di United Nations Habitat III. Jadinya, aku yang mengusahakan secepatnya untuk Minister Marvi agar bisa menyampaikan pendapatnya. Dari mulai lari ke ruang VIP Room for United Nations, balik lari ke bagian FHO, lalu ke bagian Panitia United Nations lagi, sampai bernegosiasi dengan Mr. Thomas, bagian Sekretariat United Nations, yang akhirnya memperbolehkan Minister Marvi untuk menyampaikan statement saat Sidang. Perubahan ini tentu sedikit membuat Penerjemah kebingungan karena tidak ada pemberitahuan penambahan list Negara yang memberikan statement. Tetapi, Alhamdulillah semuanya bisa berjalan dengan lancar. Kemudian, Madam Marvi kembali ke Hotel dan mengatakan padaku harus jemput dia jam 13.30. Kemudian, saat jam sudah menunjukkan 13.30, saat aku menelponnya untuk mengingatkan jadwalnya, aku dimarahin habis-habisan. “YOU REALLY DISTURBING ME” dan aku meminta maaf. Aku speechless. Aku salah.
Sore harinya, Minister Marvi membeli souvenir di Mirota dan aku agak telat menemaninya karena harus menukarkan uangnya terlebih dahulu dengan Devina. Setelah menemani Minister dan Madam Eleanor dari Ukraina serta delegasi Myanmar, kami pun kembali ke hotel untuk mengantarkan Minister Marvi dan teman-temannya.  Dan saat Welcome Dinner, akhirnya Minister Marvi ‘keturutan’ bisa salaman dan ngobrol sama Bu Risma, Walikota Surabaya. Aku bertemu dengan semua anak LO saat Welcome Dinner, bercanda, ngobrol dengan mereka, nanyain gimana delegasinya, dan menjelaskan tentang makanan apa saja yang ada di Balai Kota. Dan, Minister Marvi lagi-lagi ganti jadwal—tiba tiba pengen pulang, padahal acara belum selesai. Dan Minister Marvi melarangku mengikutinya, dikarenakan aku belum makan apa-apa dari pagi—dan dia bilang kalau dia bisa pulang sendiri ( jalan kaki ke hotel Cuma 5 menitan ) dan aku nggak bisa apa-apa selain bengong ngeliatin dia jalan kaki pulang. Dan souvenirnya ketinggalan pula. Aku dan Devina (untung devina sudah makan) langsung menuju Hotel jalan kaki juga, dan bertemu dengan seorang turis yang tersesat, tetapi juga menuju Hotel Horison jugaa. Ia seorang Delegasi dari China, dan dia ramah banget.
Hari selasa, semua dimulai baik-baik saja. Masalah timbul ketika Pihak Sekretariat United Nations yang membatalkan Plenary Session secara tiba-tiba. Lalu, karena bosan menunggu, akhirnya Minister Marvi ingin sholat terlebih dahulu. Minister memintaku untuk mencari tahu apa sebab Plenary Session diundur, dan aku lagi-lagi berlari dari lantai 2 ke lantai 3 convention Hall. Ternyata, pihak EO juga belum mengetahui penyebab kemunduran Plenary Session, tapi mereka menyampaikan kalau ada rapat Menteri dan Head of Delegations di Ballroom, 4th Floor Grand City. Ketika aku ingin menyampaikan kepada Minister Marvi yang udah balik ke Plenary Room, tiba-tiba Minister Marvi seketika menjadi heboh—HAPENYA ILANG. IYA. HAPENYA ILANG DAN DIA LUPA NARUH DIMANA.
“Where is last time you see your phone?”
“I’ll think in front of the mirror, in the mosque… yeah, in the mosque! Aisyah, you have to find out where is my phone RIGHT NOW!”
Sumpah itu bikin panik setengah mati. Aku langsung lari dari lantai 3, menabrak beberapa teman-teman LO-ku dan langsung minta maaf—kemudian berlari lagi, berharap semoga hapenya Minister Marvi nggak ilang. Bayangin. Grand City yang lagi rame karena acara Prepcom3 UN Habitat 3, yang dihadiri oleh lebih dari 2000 orang dari 142 Negara, dan aku yakin pasti setengahnya orang Islam—pasti ke Masjid buat Sholat—dengan keadaan Minister Marvi meninggalkan Hapenya di Masjid, yang kemungkinan terburuknya hapenya dibawa orang dan aku gatau orangnya yang mana—agak panik juga karena bawa nama Negara. Aku sampai di Mushola Grand City dan menanyakan bagian Penitipan Barang dengan agak sedikit histeris ;
“PAK LIHAT IPHONE 6 GREY NGGAK PAK???”
“bentar saya cek dulu, non”
Tapi—sama petugasnya aku malah ga dilayanin—malah ngelayanin yang lain. Aku nangis—dengan agak memelas, aku bilang “Pak, please, lihat Iphone 6 nggak pak, warnanya abu-abu, itu hape Menterinya Pakistan pak, tolong pak, Minister saya nyariin..”
Temanku, Sulthan, anaknya Pak Ikhsan, LO Amerika Serikat, menepuk pundakku dan berusaha menenangkanku. “Udahlah dan, sek sabar, ketemu ketemu”
“Iya, makasih tan…” aku tersenyum miris kepadanya.
“Pak, nggak lihat Iphone 6 ta pak? Kasian ini pak, temen saya udah panik”
Bapak-bapak penitipan pun mengeluarkan sebuah Iphone 6, setengah tertawa kepadaku “Ini ta?” “MAKASIH PAAKKK!! Hee, makasih sulthan, aku tak balik dulu!!”
Allah masih bersamaku. Barakallah Alhamdulillah. Aku pun langsung lari lagi dari lantai 2 menuju Lantai 3, dan menemukan Minister Marvi bersama teman-temannya ( NDI Squad ) kebingungan mencari hapenya.
“Minister, here is your phone” ucapku, masih setengah bernafas akibat terlalu cepat berlari”
“oh you found it!! Thank you!” “Anytime”
Dan dia sumringah banget—and I feel like, aku berguna kali ini. Alhamdulillah. Malam harinya, gantian Laptopnya Mrs. Carolline yang ilang. Setelah aku, Dita, dan Medy mencarikan restoran Indonesia untuk tempat makan Minister Marvi dan teman-temannya, kami bertemu dengan Mrs. Carolline dan dia agak bingung laptopnya dimana. LAPTOPNYA ILANG. TADI, HAPENYA MINISTER ILANG, SEKARANG LAPTOPNYA MRS. CAROLLINE YANG ILANG. Dia keliatan sedih banget laptopnya ilang, dan aku menanyakan hilangnya dimana. Mrs. Carolline, yang juga perwakilan NDI dari USA, mencari ke Lost and Found nggak ada, di Exhibition Hall juga nggak ada.
“Can I help you to find your laptop? I can ask the EO if you want to…” “noo, its okay, I will find it out, but if I cant find it anywhere, you have to ask them, okay?” “I’ll try”
Tapi, karena menurutku kelamaan nanti daripada laptopnya keburu dimasukin orang ke tasnya, mending aku langsung tanyain EO apa mereka nemu Laptop apa enggak. Minister Marvi aku tinggal sebentar. Bukannya menyepelekan tugas, tapi Mrs. Carolline juga merupakan tanggung jawab, dan aku yakin Minister Marvi nggak bakal keberatan jika aku membantu Mrs. Carolline menemukan laptopnya. Sekali lagi, aku, Dita, dan Medy lari dari Lantai 3 ke Basement LG, untuk menanyakan kepada EO, apakah mereka menemukan sebuah Laptop punya Mrs. Carolline. Dan, mereka menemukannya. YA ALLAH. Makasih banyak. “Biar saya bawain aja mbak, tak tunggu di lantai 3 ya, nanti minta tolong sampaikan ke Mrs. Carolline kalau laptopnya ada di saya”
“Makasih banyak, mbak!” kami pun naik lift karena kakinya Dita nggak kuat diajak lari lari dari lantai Basement ke lantai 3. Sesampainya di lantai 3, AKU MALAH GA NEMU MRS. CAROLINE, malah nemu Minister Marvi dan teman-temannya.
“Aisyah! How? Did you find Carolline Lap-“
“WE FOUND IT, YEAH”
“REALLY? You find my phone, then you find Carolline Laptop? Where you find it? Lost and found?” “no, actually, the EO find it in the Exhibition hall and they keep it… so its safe”
“Amazing! Ooh, come here”
Minister Marvi memelukku dan mencium kepalaku.
“Im not alone, but Dita and Medy helping me too. They help me, a lot” dan Minister Marvi pun berterimakasih kepada mereka. “Im sorry, I have to find Mrs. Carolline first, is that okay?” izinku kepada Minister Marvi. “Yeah, its okay, Im waiting here”, “Thank you so much. I will be back”
Dan itu hape udah kayak rada lemot—teman LOku yang lain bertemu dengan Mrs. Carolline, dan Mrs. Carolline mukanya bĂȘte banget dan selalu bertanya kepada setiap LO yang dia temui ; “Did you know where is Aisyah Danti?” OMG. Ini mrs. Carolline dimana juga ini.
Setelah menunggu sekitar 2 menitan, Mrs. Carolline pun muncul dengan muka bete—antara sedih, bingung, dan takut laptopnya hilang. “Aisyah, did you find my laptop?”
“yeah, we found it! The EO find your laptop and they keep it!” “God, thank you so much!”
Dan kami pun mengantarkannya kepada mbak EO yang membawa laptopnya. Setelah tanda tangan menemukan barang, Minister Marvi pun menceritakan bagaimana aku menemukan benda-benda yang hilang. Minister Marvi—yang masih girang hapenya ketemu—berkata bahwa Indonesia Negara yang aman dan keren, karena semua orang yang menemukan benda yang bukan miliknya, selalu diberikan kepada pihak berwajib sehingga orang yang kehilangan benda itu dapat menemukannya. “She is a superhero!” puji Minister Marvi, dan aku tersenyum mendengarnya.
Minister Marvi pun mengganti lagi jadwalnya—yang awalnya makan di Grand City, jadi tiba-tiba pengen makan di restoran Seafood Indonesia. Bosen katanya di Grand City. Okhay.
Dengan posisi hanya ada 1 BMW dan Innova lagi dipakai Devina buat nganterin delegasi Pakistan yang lain ke Bandara, dengan sangat terpaksa, BMW diisi oleh orang 5 dan itu lucu banget—baru kali ini lihat Menteri mau desek-desekan di BMW. Dibantu Devina,dan teman-teman LO yang lain, aku akhirnya menemukan Layar, restoran Seafood yang enak meskipun agak mahal ( tapi ga masalah mahal apa enggaknya, aku yakin mereka semua bisa bayar semahal apapun itu :v ). Aku sempat kebingungan ketika Devina bilang nggak ikut, dengan kemampuan bahasa Inggrisku yang kurang daripada Devina, tetapi Devina menyemangatiku bahwa aku pasti bisa. Kuncinya, jangan gopoh, jangan terlalu cepat ngomong, pokoknya pesan yang kita sampaikan bisa diterima dengan jelas.
Aku bersyukur pramusaji di Layar bisa bahasa Inggris, dan aku seketika berubah menjadi Pramusaji Layar sementara—mendata pesanan mereka, menjelaskan itu makanan apa, memberikan pendapatku mengenai makanan itu, dan sebagainya. Dan ketika aku membantu pramusaji Layar membawakan Makanan, Mrs. Carolline yang sedang debat asik dengan para emak-emak NDI ( Minister Marvi, Madam Rita, Madam Eleanor, dll ) tiba-tiba melihatku dan bertanya :
“Aisyah, did you have eat dinner?”
“im sorry?”
“you can join eat dinner with us. I know you have working a lot today” “ah—its okay, I will eat dinner if I got home. You don’t have to be worry, Mrs. Caroline”
“Marvi, she has to eat with us”  sindir Mrs. Caroline
“yes, for sure! Come on Aisyah, get your plate for dinner” jawab Minister Marvi
“Thank you so much, madam” mereka berdua tersenyum.
Minister Marvi bilang, di Pakistan, ada tradisi nggak boleh menyisakan satu makanan pun di meja. Harus habis. Dan karena mereka rada kenyang, yang makan sisanya itu aku. Rada ngenes emang, tapi bisa ditraktir sama Menteri Pakistan di salah satu restoran Seafood yang mahal di Surabaya, bersama dengan anggota National Democratic Institute, merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Di dalam hati, aku banyak bersyukur kepada Allah. Kami pun kembali ke Hotel lagi, dan esok harinya, Devina janji akan menemaniku bersama Minister Marvi.
Hari ketiga, merupakan hari yang singkat—aku terlambat 5 menit dari perjanjian awal aku harus menjemputnya, dan Minister Marvi mencariku, tapi pada akhirnya sama aja soalnya dia ujung-ujungnya milih Jalan Kaki daripada naik BMW. Aku pun langsung mengingatkan pada Minister Marvi apa saja jadwalnya hari ini, dan Minister Marvi bilang kalau aku jangan jauh-jauh dari tempat Meetingnya, biar kalau dicariin gampang. Aku mengiyakan. Saat sebenarnya dijadwalkan ada Plenary Session jam 10, ternyata diundur lagi menjadi jam 3. Minister Marvi pun rada bete(lagi) karena United Nations seenaknya ngubah jadwal. Aku menawarinya ikut Field Visit, atau sekedar Shopping, namun ia menolaknya, menyampaikan bahwa ia ternyata ada meeting lagi dengan seorang Pejabat di Amerika dengan teman-teman NDI-nya. Aku menunggu di cafĂ©, dan Minister Marvi menyuruhku minum kopi—kopi yang bener-bener kopi—roasted,item pekat—tapi aku gamau—akhirnya aku kasih ke Driver BMW, Pak Heri. Minister Marvi pun memilih balik ke hotel, dengan ketidak ada jelasan dengan Plenary Session, sedangkan Mrs. Caroline pengen shopping sama Madam Eleanor. Mereka berpisah disini, karena mereka berdua balik hari ini sedangkan Minister Marvi ke bandara besok. Aku berpelukan dengan mereka, dan mereka berterima kasih banyak kepadaku dan teman-temanku.
“We will never forget you!”
Mrs. Caroline bilang aku harus banyak belajar,jangan pernah nyerah, harus jadi kuat, dan dia bilang kalau ia akan menungguku di USA.
Aku setengah menangis, mengingat aku akan merindukannya setelah semua acara ini selesai.
Minister Marvi pun baik ke Hotel dan minta dijemput nanti aja jam 3an, dan aku mengiyakan. Aku bertemu Demas, LO dari SMA 16, yang mendapat delegasi dari Sekretariat United Nations Habitat III, sedang minum teh bersama mereka di restoran Hotel. Aku menyapanya, dan dia izin kepada delegasinya agar bisa menemaniku. Aku tersenyum pada Demas, dan aku curhat tentang Minister Marvi yang bete gara-gara United Nations yang ngubah-ngubah jadwal Plenary Session.
“Bentar, aku tanyain” “Okay” ternyata, Sekretariat dari UN sendiri juga kurang tau kenapa diundur. Mungkin masih sedikit yang datang, katanya. “Yaudah, makasih yaa”, “Sama-samaa”.
Aku pun memilih untuk sholat, sambil menunggu Minister Marvi turun dari kamar. Aku pun menuju Delta Plaza, beli mekdi buat makan siang. Duduk di pojokan, sendirian, dan di sebelah kanan ada orang yang lagi pacaran, aku makan dengan cepet karena kelaparan. Saat kembali ke Hotel, aku mendapati Madam Eleanor lagi nggak bisa bayar uang Transport ke Bandara karena dia nggak punya uang Rupiah, adanya dollar semua. Aku pun menawarkan bantuan untuk menukarkan uangnya di Money Changer di Grand City. Tapi, Money Changer-nya lagi istirahat dan baru buka jam 2. Berhubung Madam Eleanor check out jam 4, daripada kelamaan, aku pindah ke money changer di Jalan Darmo. Alhamdulillah pelayanannya cepat, meskipun nunggu taksi baliknya nunggu lama naudubilah. Aku kembali ke hotel, dan Madam Eleanor memberikan uang ganti taksi untukku. Dia berterima kasih sekali, kemudian tersenyum dan mengucapkan selamat tinggal.

 Aku pun kembali ke hotel dan menemui Minister Marvi, kemudian kembali ke Grand City. Dan ngenesnya, lagi-lagi, United Nations mengubah jadwal sak wenak e udel, dan aku mencari informasi tentang kenapa kok diundur lagi. Aku pun bertemu dengan Demas, dan Demas akhirnya menjelaskan kenapa bisa Plenary Session itu terlambat. Jadi. Plenary atau Sidang, hanyalah sebuah ‘wadah’ akhir dimana semua negosiasi dan statement dari Negara-negara yang mengikuti G77 Meeting. Masalahnya adalah, disaat Rapat berlangsung, semua Negara nggak ada yang mau mengalah. Jadinya, kesimpulan dari semua negosiasi nggak bisa berlangsung dengan lancar. Karena itulah Plenary Session nggak mulai-mulai, karena emang nggak ada yang bisa disidangkan. Aku, setengah bingung, menghembuskan nafas pelan.
“Terus gimana ministerku?” tanyaku pada Demas. “ya kamu bilang, jelasin kalau masih ada meeting G77 sama China juga. Makanya, nggak ada yang disidangin” “Ntar aku yang dimarahin, Dem, tadi aku udah Tanya panitia tapi nggak ada yang tau…” “JELASIN DAN, JELASIN. Dia minister kan? Pasti ngerti kan? Atau, kamu bilang, kalau dia aja yang ngehadap UN, bukan kamu” “ya tapi kan aku LO-nya Dem, yaudah aku gapapa deh dimarah-“ “KAMU GABAKAL DIMARAHIN, OKE? Gaada yang bakal dimarahin, Dan!” Demas menegaskan kepadaku dan aku terdiam. Aku tersenyum miris. “Maaf, aku panik”
“Nggakpapa, delegasi tiap Negara memang beda-beda”
“Maaf, demas…” “nggakpapa. Sini, aku bantu biar kamu paham, biar bisa ngomong ke Ministermu” Dibantu Demas, aku pun menyusun kata-kata untuk menjelaskan kepada Minister Marvi. Belum ada setengah kertas, Minister Marvi tiba-tiba keluar ruang sidang dan aku terpaksa lari mengejarnya. Minister Marvi bilang ia capek, dan ingin kembali ke hotel. Aku pun langsung menelpon Driver dan Pak didik, lalu kami semua balik ke Hotel.
“are they joking with me?”
“Im sorry minister, I didn’t know more about it, but I will find out. Im sorry..”
“its not your vault”
Aku tersenyum, terdiam di perjalanan menuju Hotel.
Aku pun kembali ke Grand City dan makan bersama Davin, Vania dan Lala, sambil membicarakan mengapa sampai diundur Plenary Sessionnya. Ternyata jawaban mereka sama ; Meeting G77 belum selesai. Aku pun menelepon Minister dan menjelaskan kepadanya, dan ia mengajakku makan malam berdua di Layar (lagi). Aku pun kembali ke Hotel, dan setelah itu menunggu Minister Marvi untuk turun. Minister Marvi pun turun, kemudian aku pun menuju Restoran Layar lagi. Minister Marvi bilang kalau ingin makan kepiting, SENDIRIAN, karena kemarin nggak puas kepitingnya dimakan berlima. Aku tertawa, kemudian memperbolehkannya memesan makanan apa saja. Sambil menunggu makanan datang, Minister Marvi menyuruhku bercerita. Apa saja. Keluargaku, cita-citaku, teman-temanku, sekolahku, pelajaran favoritku, apa saja. Dan, Minister Marvi mendengarkan. Ia mengerti bahasa Inggrisku tidak sebagus Devina, Dita, Medy ataupun Yuriko, tapi aku bisa membantu pekerjaannya ketika disini. Aku mengaturkan jadwalnya, membantunya berusaha memberi statement meskipun Pakistan nggak masuk list, membawakannya makanan ketika ia lapar, dan lain-lain. Tapi, aku berusaha untuk melayaninya sebaik mungkin, karena aku sadar kekuranganku dan berusaha belajar lagi dan lagi.
“I can’t manage a minister schedule when I was 17”
“really? It’s a big experience for me…” “yes, sure”
Dan kami makan. Dia makannya cepet banget—kelaparan mungkin. Aku menahan tawaku saat dia makan kepiting. Minister juga membungkuskan makanan untuk Pak Didik dan Pak Heri. Kami pun kembali ke hotel setelah itu, dan ia memberiku souvenir yang sebenarnya miliknya, namun Minister Marvi bilang kalau dia nggak butuh. Berbentuk patung Suro dan Boyo, patung kaca itu bisa menyala dan itu keren banget. Aku pun berterima kasih padanya, kemudian Minister Marvi memelukku, dan berkata bahwa aku harus menjemputnya disini jam 11.30 besok. Aku mengangguk, kemudian pulang ke rumah.
Hari terakhir ia di Surabaya, aku sudah bangun paginya, karena untuk mengontak Petugas VIP Bandara untuk menyiapkan semuanya. Aku berusaha menelepon Demas untuk mengucapkan terima kasih, tetapi nggak diangkat sama sekali. Saat jam sudah menunjukkan 09.47, aku berangkat bersama Pak Imam ke Hotel untuk menjemput Minister Marvi. Setelah menunggu Minister Marvi, kami pun berangkat ke Bandara T1 Juanda VIP Room. Devina juga datang, dan kami berfoto bersama. Setelah membantu Minister Marvi mengurus Paspor, Imigrasi, dan keberangkatan, kami banyak mengobrol di ruang tunggu. Minister Marvi bilang, Bahasa Inggrisnya Devina lebih bagus daripada kemampuanku. Tetapi, Minister Marvi juga mengatakan, meskipun bahasa Inggrisku kurang dan dia sering bingung saat aku menjelaskan, tetapi aku banyak membantunya selama disini.
“You guys are number one Liaison Officer!” aku dan Devina mengucapkan terima kasih, dan saat itu lah, Minister Marvi harus meninggalkan Surabaya.
“I wish we can meet you again!” ucapku. Minister Marvi memeluk kami berdua, dan aku agak nangis lagi.
“I hope I can meet you guys again, too. Take care” Minister Marvi tersenyum, dan saat masuk mobil menuju T2, ia melambaikan tangan padaku dan Devina. Pekerjaan kami selesai. Aku dan Devina berpelukan, kemudian berencana ke Tunjungan Plaza untuk foto bersama Dita dan Medy. Ya, Pekerjaan kami selesai.
Aku banyak belajar dari menjadi seorang Liaison Officer ini. Bagaimana caranya bersabar, bagaimana cara untuk kuat menghadapi masalah, berteman dengan anak-anak lain, bekerjasama yang baik, memberikan yang terbaik untuk tamu, belajar bahasa Inggris gratis, bagaimana kita bersikap ramah kepada seseorang yang belum kita kenal, bagaimana cara mengatur jadwal dengan baik, agar tidak ada semua waktu yang terbuang sia-sia. Bagaimana, dengan keterbatasan orang masing-masing, tetapi tetap ingin membuat tamu tersenyum. Membuat orang-orang di sekitarnya, merasa bahagia. Kurasa, ini inti dari Liaison Officer sebenarnya. Dengan rata-rata usia LO yang masing sangat muda, wajar jika membuat kesalahan. Tapi, yang penting, adalah bagaimana kita tidak mengulangi kesalahan yang sama, menyelesaikan masalah dengan kepala dingin, nggak panikan, dan selalu mengerti, bahwa Allah swt. Akan selalu membantu , dimanapun, dan kapanpun kita berada. Seorang manusia selalu membutuhkan manusia lain untuk bisa bertahan hidup. Begitu pula aku. Aku tidak bisa sendirian meng handle seorang menteri. Aku punya teman-temanku, koordinatorku, polisi, driver, Security Officer, dan tentu saja, Allah swt. Pengalaman luar biasa yang pernah aku dapatkan, yang jika saat itu aku menyerah dengan ‘Kabar Angin’ bahwa aku nggak keterima LO, mungkin aku juga nggak bisa dapetin pengalaman jadi LO sebuah acara yang diadakan 20 tahun sekali ini. Aku belajar bagaimana bekerja sama, menjadi dewasa, belajar untuk  tidak pernah menyerah, dalam keadaan terhimpit sekalipun. Aku juga belajar, jika aku memperlakukan orang dengan baik, maka orang itu juga akan berbuat baik ke padaku. Aku tidak mengejar apa-apa sebenarnya di LO ini, dapet sertifikat atau gaji ya Alhamdulillah, tapi kalau nggak dapet pun, aku nggakpapa. Karena, pengalaman seperti ini, nggak mungkin bisa dibeli dengan apapun. Dengan  Berlian termahal sekalipun.
Satu lagi kenangan baik, tersimpan di memori jangka panjang.
Alhamdulillah, misi selesai.
Maaf pak kepanjangan, ngerti sendiri kan pak kalau saya bikin quiz habis PBM pak aries, pasti panjang sendiri :”) maaf pak…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar anda tentang tulisan ini.....