Hello Historian......
Istilah “Islam Nusantara” atau “Islam Indonesia”
belakangan mencuat di masyarakat. Meski bukan istilah yang sama sekali baru,
istilah tersebut cukup menuai kontroversi seiring kontroversi tilawah al-Quran
di Istana Negara dengan menggunakan langgam Jawa beberapa waktu lalu.
Bagaimana sebetulnya kita mendudukkan istilah tersebut
menurut Islam? Apakah istilah itu sesuai atau bertentangan dengan Islam? Apakah
gagasan “Islam Nusantara” atau “Islam Indonesia” itu penting dan maslahat untuk
umat ataukah justru tidak penting dan bahkan berbahaya? Jika memang berbahaya,
di mana letak bahayanya?
Untuk memahami secara lebih jernih bagaimana sikap
kita seharusnya dalam merespon istilah dan gagasan “Islam Nusantara” atau
“Islam Indonesia, dalam rubrik Hiwar kali ini, Redaksi mewawancarai KH
Mushtafa Ali Murtadlo dari Lajnah Khusus Ulama (LKU) DPP Hizbut Tahrir
Indonesia. Berikut pandangannya.
Belakangan mengemuka gagasan untuk mengembangkan corak
“Islam Nusantara”. Bagaimana menurut Kiai?
Saat mendengar dan membaca tentang “Islam Nusantara”, al-Faqir
ingat syair yang diungkapkan oleh al-Mutanabbi beberapa ratus tahun lalu. Ia
bertutur: A Ghâyatud-dîn an tuhfû syawâribakum/Yâ ummat[an] dhahikat min
jahlihal-umam (Apakah tujuan agama itu hanyalah kalian mencukur kumis
kalian?/Wahai umat, karena kebodohan kalian, umat-umat lain tertawa).
Rasanya gambaran al-Mutanabbi itu tepat untuk
menggambarkan kondisi umat Islam saat ini. Saat kondisi kita lemah, banyak di
antara kita awam terhadap pemikiran Islam. Saat kualitas taraf berpikir umat
lemah, bahkan lemah sekali, banyak muncul pemikiran, gagasan maupun konsep yang
aneh-aneh. Padahal pada masa kejayaan Islam hal itu tak dijumpai. Contohnya
adalah gagasan “Islam Nusantara” atau “Islam Indonesia”.
Istilah “Islam Nusantara” makin populer setelah diwacanakan
oleh Wapres Jusuf Kalla dan Presiden Jokowi dalam istighasah di Masjid
Istiqlal beberapa waktu lalu. Dia menyatakan, “Islam Nusantara” itu lebih baik,
lebih ramah dan lebih moderat daripada “Islam Irak”, “Islam Suriah” atau “Islam
Libya”.
Menurut KH Said Aqil Siradj, “Islam Nusantara” adalah
“gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya dan
adat-istiadat di Tanah Air.” Ia mendiskripsikan bahwa Islam di Indonesia tidak
harus seperti Islam di Arab atau Timur Tengah, yang menerapkan penggunaan
gamis ataupun cadar. “Islam Nusantara”, tegasnya, adalah Islam yang khas
Indonesia.
Gagasan ini jadi makin kontroversial saat Peringatan
Isra’ Mi’raj di Istana Merdeka yang lalu, yakni saat tilawah al-Quran dengan
menggunakan langgam Jawa. Menurut Menteri Agama, Lukman Hakim Saefuddin,
“Tujuan pembacaan al-Quran dengan langgam Jawa adalah untuk menjaga dan
memelihara tradisi Nusantara dalam menyebarluaskan ajaran Islam di Tanah Air.”
Dari semua itu, ada dua hal yang perlu diperhatikan,
yakni batasan atau definisi dan manhaj.
Pertama: Dari sisi definisi, definisi “Islam Nusantara” itu
meluas tanpa batasan yang jelas. Jargon “Islam Nusantara” salah-kaprah alias
latah karena rancu dari asasnya. Definisinya tak memenuhi syarat yang harus “jâmi’[an]
mâni’[an], yakni mencakup semua bagian yang didefinisikan dan mencegah hal
lain di luar yang didefinisikan.
Kedua: Dari segi manhaj, jargon “Islam Nusantara”
jelas bertentangan dengan Islam. “Islam Nusantara” identik dengan upaya
mensinergikan ajaran Islam dengan adat-istiadat lokal di Indonesia. Itu sama
saja dengan “memperkosa” Islam. Islam dipaksa tunduk pada adat-istiadat lokal,
tak peduli apakah adat itu sejalan atau bertentangan dengan Islam. Akhirnya,
yang terjadi adalah sinkretisme Islam, Islam lokal.
Gagasan “Islam Nusantara” juga meniscayakan untuk
membingkai Islam dengan nasionalisme. Inilah sebenarnya yang tersirat dari
pernyataan Presiden Jokowi pada istighasah di Masjid Istiqlal yang lalu.
Alhasil, dari sisi manhaj, gagasan “Islam Nusantara” itu tak sejalan
dengan Islam.
Apakah ide “Islam Nusantara” itu berbahaya?
Ya, gagasan “Islam Nusantara” itu berbahaya bagi umat
Islam karena akan mengakibatkan minimal dua hal. Pertama: bisa mengarah
pada sinkretisme Islam. Produknya adalah Islam sinkretis yang tak lain adalah
paduan Islam dengan adat atau budaya lokal. Tentu ini tidak sejalan dengan
sifat Islam yang universal.
Sayidina Muhammad saw. diutus di tengah masyarakat
yang telah memiliki budaya. Ada yang baik dan ada yang buruk. Saat beliau datang,
beliau mengislamkan budaya-budaya itu; dalam arti mengarahkan pada budaya yang
baik dan membuang budaya jahat. Bukan disinkronkan, lalu Islam disesuaikan
dengn budaya mereka. Beliau bersabda, “Alâ kullu syay’in min
amril-jâhiliyyah tahta qadamî mawdhû’ (Ketahuilah, segala perkara
jahiliah terkubur di bawah telapak kakiku [batal]).” (HR Muslim).
Begitulah sikap Rasulullah saw. terhadap tradisi.
Beliau menolak setiap tradisi jahiliah yang bertentangan dengan wahyu. Jadi,
budayalah yang harus disesuaikan dengan Islam, bukan sebaliknya.
Kedua: “Islam Nusantara” akan memecah-belah umat dan umat
makin sulit dipersatukan. Pasalnya, saat Islam dibingkai dengan nasionalisme,
umat Islam sedunia akan terkotak-kotak atas dasar negara-negara nasional.
Padahal umat Islam haram mengadopsi dan menyerukan nasionalisme. Nasionalisme
itu bertentangan dengan prinsip kesatuan umat sedunia yang diwajibkan oleh
Islam. Kesatuan umat Islam wajib didasarkan pada ikatan akidah, bukan ikatan ‘ashabiyah
kebangsaan atau nasionalisme. Allah SWT berfirman, “Innamâl Mu’minûna ikhwah
(Sesungguhnya kaum Mukmin itu bersaudara).” (QS al-Hujurat [49]: 10).
Bukankah corak “Islam Nusantara” punya tujuan baik,
yakni agar Islam lebih bisa diterima oleh masyarakat?
Ungkapan itu seperti yang disinggung oleh qawl
Sayidina Ali bin Abi Thalib ra. saat beliau mengomentari pernyataan orang
Khawarij yang mengajak ber-tahkim pada Kitab Allah, “Kalimatu haqqin
yurâdu biha bâthil (Perkataan yang benar tetapi yang diinginkan—di balik
ungkapan tersebut—adalah batil).” Ungkapan “agar Islam diterima oleh
masyarakat” adalah ungkapan yang benar. Namun, ungkapan “Islam Nusantara”
itulah yang batil.
Bukankah “Islam Nusantara” bisa disamakan dengan
mazhab-mazhab dalam Islam?
Jelas tidak sama. “Islam Nusantara” bukanlah mazhab
dalam Islam layaknya Mazhab Syafii, Hanbali, dll. “Islam Nusantara” bukanlah
produk ijtihad dan bukan merupakan “ikhtilaf fi al-furu’.”
Namun, dulu Wali Songo dalam mendakwahkan Islam
menggunakan uslub berupa tradisi lokal seperti tembang, gamelan, wayang, dsb
sehingga Islam bisa diterima oleh masyarakat Nusantara. Jadi gagasan “Islam
Nusantara” hanyalah untuk melanjutkan kembali hal itu. Menurut Kiai?
Ada ungkapan, “Likulli ‘ahdin rijâluhu (Untuk
setiap masa ada tokohnya).” Wali Songo adalah para tokoh Islam yang telah
membuktikan diri mereka sebagai pejuang dan pengemban Islam. Mereka adalah
generasi yang telah mengorbankan hidupnya untuk Islam dan kaum Muslim. Mereka
adalah teladan untuk kita semua. Wali Songo dan para pejuang Islam yang lain
telah membuktikan diri mereka sebagai generasi yang meneladani generasi terbaik
Islam; generasi salafush-shalih yang hidup pada tiga kurun
terbaik, yakni para Sahabat Nabi saw., tâbi’în dan tâbi’ at-tâbi’în.
Begitulah pandangan kita terhadap Wali Songo dan para pejuang Islam dari
generasi ke generasi; sikap “mikul duwur mendem jero”.
Lalu bagaimana dengan penggunaan gamelan, wayang dll
yang dikisahkan sebagai wasilah dan strategi Wali Songo dalam menyampaikan
Islam? Karena di negeri kita tidak ada “urf” periwayatan, maka rasanya
kita sulit mendapatkan kitab rujukan karya para ulama seperti halnya kitab Târîkh
al-Umam wa al-Mulk karya Imam al-Hafidz Ibn Jarir ath-Thabari as-Salafi,
atau kitab al-Kâmil fî at-Târîkh karya al-Hafidz Ibn al-Atsir dll.
Akibatnya, kita kesulitan mendapatkan kitab-kitab semacam itu saat kita ingin
melakukan “muraja’ah” tentang sejarah perjuangan Wali Songo. Sungguh,
ini hal yang sangat disayangkan. Akibatnya, kita kesulitan untuk bisa
memastikan kevalidan “riwayat” tentang strategi, uslub dan wasilah yang
dipakai oleh Wali Songo dalam menyebarkan Islam ketika itu.
Kita percaya bahwa para Wali Songo menggunakan
strategi, uslub dan wasilah yang tepat pada masa itu, tentu dengan tidak
menyalahi syariah Islam dan tidak mengorbankan Islam. Bukan hanya itu,
beliau-beliau rahimahumulLah telah berhasil dalam dakwahnya dalam waktu
sangat singkat!
Pemanfaatan strategi, uslub dan wasilah telah “ma’ruf”
di kalangan para ulama mu’tabar. Karena itu Imam al-A’zham Nashir
as-Sunnah asy-Syafii radhiyalLâh ‘anhu menyatakan, “Kullu mâ
lahû mustanad[un] minasy-syar’i fa laysa bi bid’at[in] wa law lam ya’mal
bihis-salaf (Setiap perkara yang memiliki sandaran dari syariah bukanlah
bid’ah meskipun ulama salaf tidak mengerjakan perkara tersebut).”
Pengarang kitab Syarh Umdatul-Ahkam juga
menyatakan, “Tarkusy-syay’ lâ yadullu ‘alâ tahrîmihi (Ditinggalkannya
sesuatu oleh Rasul saw. atau oleh salaf ash-shalih tidak menunjukkan
pengharamannya).”
Bahkan al-‘Allamah al-Imam al-Hafidz ibn Hajar
al-Ashqalani dalam kitab Fath al-Bari menyatakan bahwa Ibn Bathal
berkata, perbuatan Rasulullah, jika tidak ada qarinah lain—begitu pula
yang ditinggalkan oleh beliau—tidak menunjukkan kewajiban maupun keharaman.
Begitulah seharusnya sikap kita terhadap strategi,
cara dan sarana yang dipilih oleh Wali Songo. Semua itu harus kita pahami
sebagaimana kaidah-kaidah di atas. Jadi, menjadi kurang pas kalau Wali Songo
dijadikan legitimasi gagasan “Islam Nusantara” atau “Islam Indonesia”.
Lalu apakah kita harus merujuk pada corak “Islam Timur
Tengah yang terus-menerus dilanda konflik?
Harus diingat, para ulama di negeri ini yang dulu,
sekarang dan bahkan insya Allah yang akan datang, kebanyakan adalah murid atau
hasil didikan dari ulama Timur Tengah. Timur Tengah memang merupakan kiblat tsaqafah
Islam di dunia.
Namun, apakah Timur Tengah sekarang itu identik dengan
model “penerapan” Islam? Tentu ini jauh panggang dari api. Timur Tengah dengan
semua perniknya saat ini tidak bisa dijadikan dan dianggap sebagai model atau
mewakili penerapan Islam yang ideal. Bukan hanya Timur Tengah yang begitu.
Seluruh Dunia Islam saat ini, termasuk Indonesia, tidak bisa dijadikan dan
dianggap model ideal atau mewakili penerapan Islam. Pasalnya, secara faktual
seluruh Timur Tengah dan negeri-negeri Islam lainnya, termasuk Indonesia,
kurang lebih sama. Seluruhnya didominasi oleh sistem kapitalisme demokrasi
sekular yang bertentangan dengan Islam.
Jadi Islam seperti apa yang semestinya diambil?
Mungkin tepatnya bukan Islam seperti apa? Namun,
masyarakat Islam yang seperti apa?
Yang kita inginkan adalah masyarakat Islam yang diatur
oleh syariah Islam baik dalam kehidupan individu, bernegara maupun
bermasyarakat. Itulah masyakarat Islam yang hidup di bawah naungan Khilafah
Islam yang sebenarnya, yang dipimpin oleh seorang khalifah. Kewajiban
mengangkat khalifah telah menjadi ijmak ulama, juga umat. Bahkan Ijmak Sahabat
pun menegaskan bahwa kewajiban tersebut merupakan kewajiban yang paling penting.
Al-‘Allamah al-Imam Ibn Hajar al-Haitami al-Makki asy-Syafii menyatakan, “I’lam
aydh[an] anna ash-Shahâbah ridhwânulLâh Ta’âla ‘alayhim ajma’în ajma’û ‘ala
anna nashbal-imâm ba’da inqirâdh zamanin-nubuwwah wâjib[un] bal ja’alûhu
ahammal-wâjibât haytsu isytaghallû bihi ‘an dafni RasûlilLâh. Wakhtilâfihim
fit-ta’yîn lâ yuqdahu fil-ijmâ’ al-madzkûr (Ketahuilah juga bahwa
sesungguhnya para Sahabat ra. telah berijmak bahwa mengangkat imam setelah
lewatnya masa kenabian adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan hal itu sebagai
kewajiban yang paling penting saat mereka lebih menyibukkan diri dengan
mengangkat imam daripada memakamkan jenazah Rasulullah. Perbedaan mereka dalam
penunjukkan—siapa yang paling layak menjadi khalifah—tidak mencederai ijmak
yang disebutkan itu).”
Inilah masyarakat yang kita idamkan dan kita
perjuangkan. Betul memang, sekarang ini sejak keruntuhan Khilafah Islam tahun
1924 yang lalu, sistem tersebut tidak ada. Karena itu kewajiban kita adalah
mewujudkan kembali Khilafah itu. Nas-nas syariah menegaskan bahwa kita wajib
memperjuangkan Khilafah agar tegak kembali.
Nas-nas syariah juga menegaskan Khilafah Islamiyah ‘ala
minhaj an-nubuwwah pasti tegak kembali. Hal itu merupakan janji Allah dan
kabar gembira dari Rasulullah saw. Allah SWT tentu tidak akan menyalahi
janji-Nya. Karena semua itu, bagi kita tegaknya Khilafah Islamiyah ‘ala
minhaj an-nubuwwah itu sungguh dekat. Rasul saw. bersabda, “Kullu mâ
huwa ât[in] qarîb[un] lâ bu’da lima huwa ât[in] (Setiap yang pasti
datang itu adalah dekat. Tidaklah jauh untuk apa yang pasti datang).” (HR
al-Baihaqi). []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda tentang tulisan ini.....