Hello Historian......
Wacana “Islam Nusantara” atau “Islam Indonesia”, yang
kini digembar-gemborkan kalangan elit intelektual, birokrat Kemenag, politisi
dan sejumlah tokoh ormas Islam sesungguhnya dibangun oleh paradigma Barat dalam
melihat Islam, namun dibuat seolah-olah pemikiran orisinil Indonesia.
Oleh Azyumardi Azra, Islam Nusantara didefinisikan
sebagai Islam distingtif sebagai hasil interaksi, kontekstualisasi,
indigenisasi dan vernakularisasi Islam universal dengan realitas sosial, budaya
dan agama di Indonesia (http://fah.uinjkt.ac.id).
Sederhananya, menurut Ketum PBNU KH Said Aqil Siraj,
Islam Nusantara adalah gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi
lokal, budaya dan adat-istiadat di Tanah Air. Konsep Islam Nusantara
mensinergikan ajaran Islam dengan adat-istiadat lokal yang banyak tersebar di
wilayah Indonesia (Republika Online, 10/3/2015).
Agar bisa diterima, konsep Islam Nusantara
sering dinisbatkan kepada Walisongo. Konon menurut catatan sejarah, para wali
tersebut melakukan islamisasi dengan pendekatan budaya. Tradisi Slametan,
Kupatan dan sejenisnya merupakan kreasi para wali, khususnya Sunan berdarah
Jawa seperti Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang.
Namun, hal itu hanya kedok untuk menutupi wajah
sekular yang sesungguhnya. Tampak dari luar memang indah, apalagi dibumbui
dengan semangat menampilkan wajah Islam yang indah. Padahal faktanya tidak
demikian. Yang menjiwai konsep ini sesungguhnya adalah nilai-nilai Barat
yang begitu saja disematkan pada Islam seperti moderatisme, inklusivisme,
pluralisme, multikultralisme, nasionalisme, toleransi, sinkretisme, relasi
jender (feminisme), dll.
Hal ini diakui sendiri oleh Azra, bahwa ciri Islam
Nusantara adalah wasathiyyah yang moderat dan toleran. “Ortodoksi Islam
Nusantara (kalam Asy’ari, fikih mazhab Syafii dan tasawuf Ghazali) menumbuhkan
karakter wasathiyah yang moderat dan toleran,” tegasnya.
Hal ini tentu patut diwaspadai karena istilah moderat,
inklusif dan pluralis yang dihiasi dengan kata damai dan toleran
sangat kental dengan aroma liberal. Mungkin di kalangan pesantren bisa jadi ini
perkara baru. Namun, di dunia pendidikan tinggi ini sudah menjadi perkara
lumrah. Corak Islam yang liberal berulang disampaikan tanpa rasa penyesalan,
malah justru dengan nada kebanggaan. Bisa kita lihat, misalnya, dalam
pernyataan Prof. Azyumardi sendiri sebagaimana dimuat dalam buku IAIN dan
Modernisasi Islam di Indonesia (2002, hlm. 117), yang diterbitkan atas
kerjasama Canadian International Development Agency (CIDA) dan Direktorat
Pembinaan Perguruan Tinggi Islam (Ditbinperta) Departemen Agama. Di sana
dinyatakan: “Sebagai lembaga akademik, kendati IAIN terbatas memberikan
pendidikan Islam kepada mahasiswanya, tetapi Islam yang diajarkan adalah Islam
yang liberal.”
Oleh sebab itu tidak aneh, dengan jurus asal-asalan
bernama “kontekstualisasi”, hukum-hukum yang didasarkan pada nash yang qath’i
bisa dirombak begitu saja. Jilbab kemudian disebut sebagai budaya Arab, budaya
padang pasir, yang tidak cocok dengan bangsa maritim. Demikian dikatakan
Komarudin Hidayat, saat mencontohkan bentuk “Pribumisasi Islam” dalam relasi
jender (http://nasional.sindonews.com).
Oleh sebab itu, kita tak boleh terpedaya dengan
istilah-istilah manis nan indah didengar, padahal sesungguhnya racun peradaban
Barat yang sengaja disuntikan pada umat Islam. Islam kemudian diposisikan
sebagai objek yang bisa diubah-ubah untuk menyesuaikan dengan keadaan. Dalam
konteks wacana Islam Nusantara, ‘corak keindonesiaan’ ternyata bukan
hanya berciri khas batik, misalnya, namun kewajiban menutup aurat pun bisa
diubah, bila dipandang tidak sesuai dengan adat dan budaya lokal. Jilbab dan
kerudung akhirnya menjadi tidak wajib.
Padahal seharusnya Islam menjadi standar (subjek),
yakni dengan menjadi al-Quran dan as-Sunnah sebagai rujukan.
Upaya Menjauhkan Islam yang Sesungguhnya
Sekali lagi, perlu diwaspadai bahwa wacana “Islam
Nusantara” adalah bagian dari gagasan “mederatisme Islam”. Para
pengusungnya memakai kacamata yang berbeda dalam melihat Islam. Kacamata yang
digunakan adalah kacamata penjajah yang melihat Islam sebagai ancaman. Hal itu
bisa kita lihat sejak munculnya pengkajian orientalisme. Barat-penjajah sadar
bahwa Islam bukan hanya sekadar istana-istana megah, bala tentara yang gagah
berani atau bangunan-bangunan monumental, melainkan ideologi yang memiliki
pandangan hidup yang khas. Lebih dari itu, Islam adalah ajaran yang
universal yang mampu menghimpun kekuatan dan potensi yang dimiliki umatnya.
Pada masa lalu, kekuatan ideologi ini terbukti membuat kaum Muslim bisa
bertahan di tengah gempuran musuh-musuhnya. Umat Islam diakui sebagai umat yang
paling agung yang sejarahnya membentang selama belasan abad. Demikian juga saat
ini, Islam telah menjadi ancaman paling potensial bagi kekuatan politik dan
ideologi kapitalis-Barat.
Oleh sebab itu, Barat memandang bahwa kekuatan
ideologi Islam harus segera dimatikan. Di antara caranya adalah menjadikan umat
Islam sebagai umat yang moderat (versi mereka), yaitu umat yang tidak meyakini
kebenaran agamanya sendiri. Jadilah Islam yang ‘jinak’, Islam yang tidak peduli
dengan penderitaan dan penindasan yang dialami oleh saudara-saudaranya sesama
Muslim, bahkan tidak peduli agama mereka diotak-atik. Pada gilirannya,
potensi Islam sebagai sebuah idiologi yang mengancam Barat bisa dilenyapkan.
Memecah-Belah Umat
Gejolak berkepanjangan yang terjadi di Timur Tengah
hingga saat ini tak luput menjadi salah satu justifikasi bagi pentingnya
menampilkan “Islam Indonesia”. Namun kenyataanya, alih-alih memberikan
kedamaian, malah memunculkan kegaduhan. Pasalnya, secara kasatmata para
pengusung gagsan Islam Indonesia justru telah menebar kebencian terhadap apa yang
mereka sebut sebagai “Islam radikal”, “Islam militan’’ dan “Islam
fundamentalis’’. Umat sengaja dipecah-belah dengan label yang indah dan
yang buruk. Bahkan istilah-istilah itu kemudian dipropagandakan sebelum
maknanya didefinisikan dengan jelas. Dikotomi seperti ini sebenarnya
merupakan bagian dari strategi Barat untuk menghancurkan Islam sebagaimana yang
dituangkan dalam dokumen Rand Corporation. Rand Corporation adalah
lembaga think-tank neo-konservatif Amerika Serikat yang banyak
mendukung berbagai kebijakan Gedung Putih. Dalam rekomendasi yang disampaikan
oleh Cheryl Benard yang berjudul ”Civil Democratic Islam, Partners,
Resources and Strategies” secara detil diungkapkan upaya untuk
memecah-belah umat Islam melalui strategi penghancuran yang dibangun dengan
basis filosi “devide et impera”, atau politik belah bambu. Tulisan dari Dr.
Michael Brant, mantan tangan kanan Direktur CIA yang berjudul ”A Plan
to Divide and Destroy the Theology”, pun menunjukkan bagaimana CIA sampai
mengalokasikan dana sebesar 900 juta US dolar untuk memecah-belah umat Islam.
Karena itu kita tidak boleh ikut-ikutan menambah
daftar panjang predikat Islam seperti “Islam Nusantara”, “Islam Indonesia”,
“Islam Timur Tengah”, “Islam modernis”, “Islam tradisionalis”, “Islam liberal”,
“Islam fundamentalis”, “Islam moderat, “Islam radikal” “Islam inklusif”, “Islam
ekslusif”, “Islam rasional”, “Islam salafi”, “Islam militan”, “Islam
konservatif”, “Islam kanan”, “Islam kiri”, “Islam garis keras”, “Islam
kultural”, “Islam struktural”, dan sebagainya. Lebih baik kita menyebut “Islam”
saja. Islam itu satu. Islam tidak dipecah-belah menjadi berbagai jenis
Islam—yang maknanya kabur dan tidak jelas—sebagaimana dikehendaki oleh
Barat-penjajah.
Membangkitkan ‘Ashabiyah
Semangat “Islam Indonesia” juga lahir dari sentimen
nasionalisme yang jelas berbahaya. Nasionalisme merupakan ikatan yang dilandasi
pada perasaan emosional. Ia lahir dari naluri untuk survive
(mempertahankan diri) yang salah satu bentuknya adalah cinta terhadap kekuasaan
diri dan kaumnya. Ikatan ini tidaklah dipegang kecuali oleh masyarakat yang
mundur.
Secara politik, penyebaran dan penguatan nasionalisme
di Dunia Islam tiada lain untuk melemahkan dan mengkerdilkan mereka. Bila kita
menengok sejarah, tampak jelas bahwa kafir penjajah berhasil meruntuhkan
Khilafah Islamiyah lalu menjajah negeri-negeri kaum Muslimmelalui propaganda
kebangsaan atau nasionalisme. Merekalah yang menyerukan rasa bangga akan negeri
Mesir dan peradaban Fir’aun sehingga diikuti oleh kaum Muslim Mesir. Mereka
juga yang mempropagandakan sentimen ke-Melayu-an, ke-India-an, ke-Pakistan-an,
ke-Indonesia-an, dan lain-lain.
Kaum penjajah juga berada di belakang tumbuh dan
berkembangnya gerakan-gerakan nasionalisme di Dunia Islam. Akibatnya, Daulah
Islam runtuh dan negeri Islam menjadi terpecah belah menjadi puluhan negara
(Lihat: Taqiyuddin an-Nabhani, Ad-Daulah al-Islamiyyah, hlm. 212-222).
Oleh sebab itu, pantas Rasulullah saw. menyebut
sentimen nasionalisme itu sebagai “muntinah” [barang yang busuk]. Beliau
juga mencela fanatisme golongan, termasuk di dalamnya adalah ikatan kesukuan
dan kebangsaan atau nasionalisme, dengan celaan yang keras bahkan dengan
‘kinayah’ untuk menunjuk sesuatu yang menjijikan. Beliau bersabda:
مَنْ دَعَا إِلىَ عَصَبِيَّةٍ فَلَيْسَ مِنَّا
Siapa saja yang menyeru pada ‘ashabiyah (fanatisme
golongan), maka dia tidak termasuk golongan kita (kaum Muslim) (HR Abu Daud).
مَنْ تَعَزَّى بِعِزَاءِ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَعِضُّوْهُ هُنُّ أَبِيْهِ وَلاَ تَكْنُوْهُ
Siapa saja yang berbangga-bangga dengan kebanggaan
jahiliah, hendaklah kalian menyuruh mereka menggigit kemaluan bapaknya, dan
janganlah kalian mengatakan hal itu secara samar-samar (HR Ahmad, Nasa’i, Ibnu Hibban dan
Thabrani).
Membendung Khilafah?
Dari semua paparan di atas, amat jelas bahwa wacana “Islam
Indonesia” atau “Islam Nusantara” secara politik dimaksudkan untuk
menolak atau setidaknya membendung penerapan syariah Islam secara total oleh
negara (Khilafah).
Kita tahu, untuk tujuan itu para penjajah telah dan
sedang melakukan berbagai upaya dan strategi, baik melalui pendekatan lembut (soft
approach), pendekatan keras (hard approach), maupun melalui
undang-undang (legal/law aApproach). Pendekatan lembut (soft approach) dijalankan
dengan cara: penyebaran ideologi kontra Islam: kapitalisme, demokrasi, HAM,
pluralisme; penyebarluasan kapitalisme dengan baju Islam seperti “Islam
moderat”, “negara madani” (ad-dawlah al madaniyah), “Islam inklusif”,
dialog antarumat beragama, dll; stigma negatif dan kriminalisasi ajaran
pokok Islam (syariah Islam, Khilafah, jihad); linkage
(pengaitan) dengan kelompok atau tindakan teror dan lain-lain.
Adapun pendekatan keras (hard approach)
dijalankan dengan adu domba dan pecah-belah, sebagaimana dijelaskan di atas,
termasuk dikotomi “Islam Indonesia” dan “Islam Timur Tengah”, dst; perang
melawan trorisme dan pemaksaan ideologi Barat terhadap negeri Islam: demokrasi
atau perang; termasuk menciptakan pemerintahan boneka di negeri Islam dengan
perang dan konflik, sebagaimana kita saksikan di Yaman sekarang.
Dengan demikian wacana “Islam Nusantara” merupakan
realisasi dari dua pendekatan sekaligus, yakni pengokohan Islam yang moderat
dan toleran (dalam versi mereka) serta politik pecah-belah berdasarkan sentimen
kebangsaan. Dalam dialog yang diselenggarakan Kompas bekerjasama dengan
NU, secara khusus Azyumardi Azra (sebagai salah satu panelis) menyebut Hizbut
Tahrir sebagai kelompok yang tidak sejalan dengan gagasan “Islam
Nusantra” karena ingin menegakkan Khilafah Islam (http://print.kompas.com/galeri/video,
28/05/2015).
Bahkan Wakil Presiden Yusuf Kalla, dalam sambutan
pembukaan Ijtima’ Ulama di Jateng (8/6/2015), menyatakan bahwa Khilafah tidak
boleh dikampanyekan karena menapikan kebangsaan dan melanggar undang-undang.
Menurut dia, Khilafah hanyalah pikiran yang muncul jaman dulu (Hidayatullah.com).
Inilah di antara bukti bahwa wacana “Islam Indinesia”
adalah untuk membendung penerapan syariah dalam bingkai Khilafah.
Islam Hanya Satu
Islam adalah ajaran yang universal (risalah
‘alamiyyah) yang diturunkan oleh Allah SWT untuk seluruh umat manusia tanpa
memandang suku, bangsa, ras dll. Dinyatakan secara tegas dalam al-Quran bahwa
Allah SWT adalah Rabbul ‘Alamin (QS.1:2), al-Quran diturunkan membawa
peringatan bagi seluruh umat (lil ‘alamin) (QS. 25:1), Rusulullah
saw. di utus untuk semesta alam (lil ‘alamin) (QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Karena itu Islam hanya satu. Syahadatnya sama. Sumber
hukumnya sama: al-Quran dan as-Sunnah. Allah SWT menegaskan dalam al-Quran:
إنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُوْنِ
Sesungguhnya umat (agama) kalian ini adalah umat
(agama) yang satu. Aku adalah Tuhan kalian. Karena itu takutlah kalian
kepada-Ku (QS
al-Mu’minun []: 52).
Ayat yang sama diulang dalam Q.s. al-Anbiya’ (21): 92,
dengan akhiran yang berbeda, “fa’buduni” (sembahlah Aku). Lafal “ummat”
di dalam kedua nas ini diartikan oleh para ahli tafsir dengan agama (Ibnu
Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, V/479). Meski demikian, bisa juga
diartikan, sebagaimana harfiahnya, yaitu umat. Karena itu Islam adalah satu;
umat Islam juga satu. Tidak ada “Islam Indonesia”, “Islam Turki”, atau “Islam
Arab”. Umat Islam hanya satu, tidak ada “Umat Islam Indonesia”, “Umat Islam
Arab” atau yang lain. Semuanya adalah Islam dan umat Islam.
Namun demikian, meski Islam adalah agama yang satu,
kita tidak menutup mata adanya perbedaan di dalamnya semata-mata karena
perbedaan pendapat, pandangan dan mazhab. Perbedaan seperti ini dibenarkan
dalam Islam karena dua alasan. Pertama: Karena nash syariah memungkinkan
umat Islam untuk berbeda akibat adanya nas-nas yang dzanni tsubut
(sumber) dan dzanni dalalah (makna)-nya. Kedua: Karena kemampuan
intelektual umatnya juga berbeda-beda sehingga memungkinkan perbedaan dalam
memahami nas-nas syariah.
Namun demikian, ukurannya jelas. Kata Sayidina ‘Ali
ra.:
لاَ تَعْرِفِ الْحَقَّ بِالرِّجَالِ، أَعْرِفِ الْحَقَّ وَتَعْرِفُ أَهْلَهُ
Janganlah kamu mengenali kebenaran dengan melihat
orangnya. Kenalilah kebenarannya itu sendiri maka kamu akan mengenali orangnya (Al-Ghazali, Al-Munqidz min
ad-Dhalal, I/30).
Mengenali Islam sebagai agama yang benar harus kembali
pada sumbernya, bukan orangnya. Sumbernya adalah al-Quran, as-Sunnah, Ijmak
Sahabat dan Qiyas. Siapapun yang membawa dan menyampaikan Islam harus dilihat
dan diukur dengan sumber-sumber tersebut. Jika menyimpang, siapapun dia, apapun
kelompok dan organisasinya, apa yang dibawa dan disampaikan itu bukanlah
kebenaran. Berbicara dalam urusan agama tanpa dalil merupakan kadzib (dusta)
(lihat: QS al-Kahfi []: 5)
WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Abu Muhtadi ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda tentang tulisan ini.....