Hello Historian......
“Jangan sekali-sekali melupakan sejarah” (Jas Merah, Bung Karno)
UNTUNG saja, Punk baru muncul tahun 90-an. Seandainya punk dengan ideologi anarkisme-nya sudah muncul sejak 1965, mungkin dendam lebih kesumat lagi. Jangankan dengan Anarkis, PKI sebagai kekuatan komunis utama, juga berseteru dengan para pengikut Tan Malaka (yang dituduh Trotskis) dan Sutan Syahrir (yang dituduh Sosialis Kanan/Kapitalis). Di mata PKI, yang tidak mau ikut pemahaman komunis versi mereka, dianggap musuh. Sejalan dengan titah tuhan mereka di Moskow maupun Peking.
Meskipun sama-sama beraliran kiri (sosialis), namun sedari awal lahirnya, Komunis yang diwakili oleh Marx dan Engels, serta Anarkisme yang diwakili Bakunin dan Kropotkin, telah bentrok habis-habisan sejak Internasionale Pertama seabad lalu, dimana seluruh kaum sosialis Eropa berkumpul untuk mengorganisir aksi mereka.
Pada kongres tersebut, Bakunin mengecam konsep perebutan negara oleh kaum proletar (buruh), yang akan menyebabkan lahirnya tirani baru, bernama negara Soviet. Sedangkan Marx mengkritik konsep destruktif Bakunin hanyalah utopia yang tidak mungkin terwujud. Dan ternyata ramalan Bakunin terbukti. Semenjak berdirinya komunis (1917) hingga runtuhnya (awal 90-an), Negara Komunis telah menjadi monster bagi rakyatnya sendiri. Itulah apa yang disebut Bakunin sebagai “Kapitalisme Negara”. Mereka menjadikan negara seperti sebuah perusahaan, dimana para petugas partai komunis adalah para administrator dan rakyat adalah budak-budaknya.
Anak-anak punk di akhir kejatuhan Orde Baru, punya pengalaman pahit bermesraan dengan kaum komunis di bawah payung Partai Rakyat Demokratik. Mereka, kaum pengagum Lenin dan Stalin, pernah mengibuli anak-anak Punk yang lugu secara politik, untuk memperbesar kekuatan massa mereka. Bahkan sebagian lagi diperkerjakan seperti budak dengan duduk sebagai pejabat partai di wilayah kota maupun daerah. Menjijikan bukan?
Setelah Soeharto turun, barulah sebagian anak-anak Punk sadar, selama ini mereka seperti sapi dicocok hidungnya. Mereka hanya jadi batu loncatan bagi para petualang politik macam Budiman Sudjatmiko, Andi Arief, Dita Indah Sari, Coen Husein Pontoh, dan para serdadu Marxis penjilat lainnya. Sebagian mereka sekarang sudah jadi “wakil rakyat’, sebagian lagi jadi pejabat publik, dan sisanya jadi ternak piaraan partai-partai koruptif.
Peristiwa itu sulit dilupakan. Karena ternyata ada sebagian kawan-kawan Punk yang ikut terluka atau bahkan mati disiksa aparat saat demonstrasi bersama mereka, para pengagum si botak Lenin. Sementara mereka yang mati-matian membela partai harus menderita, di luar sana pejabat partai malah asyik bercengkerama dengan musuh-musuh rakyat.
Akibat kejadian itu, ada sebagian punkers yang kecewa, kemudian meninggalkan partai dan menjadi apolitis sama sekali. Sebagian lagi memendam perihnya dikibulin, dan mengambil posisi berhadap-hadapan dengan politik beserta para pelakunya. Khusus untuk kaum Leninis-Stalinis, ada beberapa Punk yang menabuh genderang perang setiap apapun yang berbau palu arit. Kalau disurvey, mungkin mayoritas Punkers membenci komunis atas pengalaman tersebut. Di bawah ini ada beberapa sebabnya:
1. “Political Party Is Bullshit”
Dulu sempat ramai slogan ini. Terutama setelah beberapa punggawa Punk di Jakarta, Bandung, dan Surabaya, merasa telah ditipu para petualang politik di PRD. Tadinya anak-anak punk mengira perjuangan mereka adalah perjuangan suci membela kaum tertindas. Tapi ternyata, apa yang dilakukan mereka tidak ada bedanya sama sekali dengan politisi busuk lainnya.
Mereka memanfaatkan jeritan rakyat untuk naik pangkat. Mereka melakukan aksi hanya untuk bahan promosi. Mereka menaruh simpati dengan harapan dikasihani. Lantas apa bedanya dengan partai lainnya kalau yang dilakukan sama saja?
Akhirnya orang menjadi yakin, bahwa partai politik sama saja. Apakah mereka pro wong cilik kek, atau kelihatan merakyat kek, atau teriak-teriak anti korupsi kek, sama saja. Kalau sudah kena sindrom kekuasaan, mereka cenderung cepat lapar dan haus sehingga menjadi rakus.
Mereka memegang prinsip: “Bersatu untuk nafsu kekuasaan. Berpolitik untuk kepentingan sendiri. Berkuasa untuk meraih kenikmatan. Berkampanye untuk meraih semua itu”.
2. Punk Menolak Hierarki dan Dogma
Tidak ada seorang pun yang mengaku Marxis/Leninis/Stalinis/Maois yang tidak bercita-cita mendirikan partai. Sebab dalam konsep utamanya, kekuasaan/negara harus direbut lewat partai yang rapih dan mengikat, baik lewat cara-cara parlementer maupun lewat jalan kekerasan.
Punk tidak mengenal partai. Sebab partai mewakili kesan birokratis. Ada struktur dan aturan yang harus ditaati. Aturan inilah yang memungkinkan orang untuk menindas satu sama lain. Seseorang tidak memiliki hak untuk berpikir dan bertindak bebas dalam suatu sistem dimana segalanya serba dogmatis.
Para ahli sejarah berkata,”Komunis telah menjadi pesudo-religion”. Pseudo religion berarti menyerupai agama. Karena memang di dalam partai komunis, semua kader harus tunduk pada titah ketua partai. Bahkan ketika ketua partai membuat aturan cebok yang baik dan benar menurut Karl Marx, maka kader harus mengikuti bila tidak ingin dikatakan kontra-revolusioner. Tentu hal ini membuat hidup teramat membosankan.
3. Punk Ingin Revolusi yang Membolehkan Punk Tetap Ber-moshing Ria
Masih ingat Koes Plus? Di masa PKI jaya di awal 60-an hingga tahun 65, mereka dipenjara karena dituduh memainkan musik kapitalistik. Bahkan Bung Karno melarang semua karya The Beatles dan band British Invasion lainnya dengan menyebutnya sebagai musik “ngak, ngik, ngok” yang tidak sesuai dengan arah revolusi bangsa.
Atas nama revolusi, PKI memberangus karya seni yang bertentangan dengan paham mereka. Bahkan oleh mereka karya seni dipakemkan harus begini dan harus begitu. Memang benar PKI tidak benci karya seni, tapi sikap arogannya terhadap orang-orang yang berseberangan dengan mereka (menurut kaca mata mereka), diberangus begitu saja tanpa ada penjelasan yang lebih masuk akal.
Di masa jayanya, Pramoedya Ananta Toer, orang yang dikagumi banyak anak muda ingusan sebagai sastrawan terhebat sedunia-akhirat, juga melakukan pemberangusan terhadap lawan-lawan politik mereka lewat media-media corong yang dikuasai Pram seperti Bintang Timur dan Harian Rakyat. Apa yang dilakukan Pram amatlah wajar, sebagaimana yang dilakukan Soviet dulu terhadap karya-karya seorang anarkis terkenal, Leo Tolstoy. Hanya karena berbeda pandangan, sebuah karya dibungkam.
Mungkin kalau musik-musik amburadul macam Punk, sudah hidup sejak tahun 60-an, akan kena juga pemberangusan. Kecuali, punk-punk yang ikut dengan partai mereka. Pasti akan diselamatkan, meskipun musiknya sama-sama amburadul.
Emma Goldman, pemikir anarkis terkenal, mengatakan “saya hanya ingin revolusi yang membolehkan saya tetap menari”. Emma menolak negara campur tangan soal selera seni seseorang sebagaimana yang terjadi di negara-negara komunis. Emma berkomentar,”Lenin terlalu sibuk berpolitik, makannya dia benci seni”.
4. Bagi Punk, Revolusi Terjadi Spontan, Tanpa Paksaan Partai
Menjadi seorang komunis berarti menjadi sebuah robot. Mereka terpasung aturan-aturan dan dogma. Bahkan, untuk mencapai kemenangan revolusi, mereka menyiapkan langkah-langkah yang amat detail seperti sebuah buku ensiklopedia. Setiap tahapannya harus dijalankan berurutan tak boleh terloncat sesuai titah bos partai.
Menurut Punk, revolusi terjadi alamiah. Ketika rakyat mulai merasa tertekan mereka dengan sendirinya memberontak. Revolusi tidak berjalan melalui paksaan. Apa yang terjadi pada tahun 1926, 1948 dan 1965 adalah revolusi dadakan karena nafsu lebih besar daripada kemampuan.
PKI melakukan keteledoran hanya karena tidak ingin dibilang ‘ketinggalan jaman’. Sebab pada saat yang bersamaan, Uni Soviet sedang menginvasi Eropa Timur, China menggelar revolusi budaya, Korea Utara menyerbu ke selatan, dan berbagai peristiwa ekspansif yang dilakukan partai-partai komunis dunia. PKI tentu tidak ingin melewatkan momen tersebut.
Kira-kira, tahun 98 itu termasuk revolusi spontan. Meskipun tidak terlihat terlalu spontan. Tapi Revolusi penggulingan Suharto dilakukan oleh banyak pihak dari banyak elemen. Tidak cuma kaum komunis saja. Sehingga peristiwa 98 tidak bisa diklaim sebagai kemenangan satu pihak, sebagaimana yang biasa dilakukan orang-orang komunis.
5. Komunis bilang: Punk Sama Terkutuknya Dengan Kapitalisme
Tidak mengherankan bila salah satu pejabat PRD pernah mengatakan di depan publik,”Paham anarkisme sama haramnya dengan kapitalisme” sebagaimana yang dikutip Pamudji, punggawa Punk yang pernah tersesat di PRD. Pamudji mengungkapkan salah satu alasannya keluar dari PRD, karena kaum Leninis itu tidak bisa menghargai perbedaan keyakinan. Pam juga menulis kebusukan PRD lewat sebuah pledoi di Zine Mempersenjatai Imajinasi #2.
Mengapa tidak mengherankan? Karena sejarahnya, komunis selalu mengganyang pihak yang berseberangan dengan mereka. Ketika Bolshevik menang, program pertama yang mereka lakukan adalah menghancurkan Menshevik, oposisi mereka di Partai Sosialis Rusia. Padahal mereka sama-sama meyakini Marx. Tapi sikap oposan itu yang tidak disukai Lenin.
Di Indonesia, PKI dengan suka cita membubarkan Partai Sosialis Indonesia pimpinan Syahrir, hanya karena Syahrir mempunyai keyakinan sebagai seorang Sosialis-Demokrat. Di tahun pergolakan revolusi, akhir 40-an, PKI juga menjadi dalang pembunuhan Tan Malaka melalui underbouw-nya Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo).
Permusuhan dengan Tan Malaka terjadi konon karena perintah langsung dari Moskow. Tan Malaka dibenci karena menolak dominasi Moskow dan lebih menyukai komunisme dengan cita rasa lokal yang sesuai dengan kepribadian rakyat Indonesia. Padahal Tan Malaka ini bekas pimpinan komunis wilayah Asia Pasifik. Tapi, sekali lagi, hanya karena berbeda pendapat, dia kena hajar juga.
6. Libido Dominasi Komunis Terlalu Tinggi
Dimanapun seorang komunis berada, dia punya nafsu menguasai. Tak cuma organisasi buruh, mereka juga ingin merebut organisasi apapun dengan segala jabatan di dalamnya. Di masa jayanya, PKI menguasai organisasi pelajar, mahasiswa, guru, wartawan, petani, nelayan, dan juga jabatan-jabatan pemerintahan seperti kepala desa.
Jangan pernah heran, kalau suatu ketika mereka mengajak membuat front yang terdiri dari beberapa kalangan dengan spektrum ideologi yang luas, mereka pasti berusaha mendominasi dan merebut posisi pimpinan. Mereka hanya berpikir untuk kelompoknya sendiri. Mereka memang tidak benar-benar berniat kerja sama. Di pikirannya hanyalah eksploitasi.
Mereka yang katanya “demokratik”, aslinya sangat otoriter. Jadi harusnya, PRD bernama PRO (Partai Rakyat Otoriter). Wajar kalau Budiman bergabung dengan partai yang katanya “demokrasi”, padahal aslinya feodal dengan ketua partai yang itu-itu saja dan menganggap bahwa partai punya keluarga mbahnya. Cocok dengan karaktermu, But!
7. Punk Cinta Damai
Bergidik bulu kuduk bila mendengar seruan Lenin pada awal revolusi Bolshevik 1917. “Untuk menerapkan komunisme, kita tidak gentar berjalan di atas 30 juta tengkorak sekalipun”. Atau di lain kesempatan dia berkata,”Tidak jadi soal apabila 3/4 penduduk dunia habis, asalkan 1/4 sisanya adalah komunis”
Teringat pula jutaan orang yang telah dipaksa bunuh diri dengan mengirim mereka ke gulag-gulag khayalan Joseph Stalin. Apa yang dilakukan Mao di era revoulsi kebudayaan adalah sebuah kegoncangan sosial terbesar sepanjang sejarah. Kira-kira 20 juta orang mati kelaparan karena khayalan Mao. Baik Lenin, Stalin, maupun Mao, menjadikan orang-orang yang percaya padanya sebagai tikus percobaan di laboratorium bernama mimpi komunisme.
Punk tentu menolak tindakan represif seperti itu. Jangankan tindakan represif yang dilakukan negara, bahkan yang dilakukan aparat sekalipun akan ditentangnya. Sebab Punk berarti cinta damai.
Perlu diingat, yang menjadikan Punk berbahaya bukanlah senjata. Tapi makna!*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar anda tentang tulisan ini.....